Selasa, 08 Maret 2022

Cerita Si Kucinuncung. Membaca Relasi Kuas dalam Majalah Anak-Anak Indonesia

 Magister Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia 

Alamat korespondensi: atika.ash@gmail.com

Abstract

Si Kuncung is the first kid’s magazine that officially accepted as a national kids

magazine by the Indonesian government in the era of President Soeharto. Aside

from being a media for education and culture, the government also helped Si

Kuncung's publications, especially in marketing and financing. The relationship

between the publishers and the government expanded the deployment of Si

Kuncung and strengthened its position in the national children's reading

materials. However, on the other hand, Si Kuncung who dissolved in the

leadership of power also faded along with the collapse of the New Order era.


Keywords: Si Kuncung; Kid’s Magazine; Power Relation.


Abstrak 

Si Kuncung merupakan majalah anak-anak pertama yang didaulat secara resmi

sebagai majalah anak nasional oleh pemerintah Indonesia pada era Presiden

Soeharto. Selain sebagai media pendidikan dan kebudayaan, pemerintah juga

turut membantu penerbitan Si Kuncung dari segi pemasaran dan pembiayaan.

Relasi yang terjalin antara pihak penerbit dengan pemerintah memperluas

penyebaran Si Kuncung dan memperkuat posisi Si Kuncung dalam jajaran bacaan

anak-anak nasional. Namun di sisi lain, Si Kuncung yang terlarut dalam

kepemimpinan kekuasaan turut meredup seiring runtuhnya Orde Baru.

Kata Kunci:. Si Kuncung; Majalah Anak-Anak; Relasi Penguasa.


Pendahuluan

Anak-anak menanggung beban tentang apa yang akan terjadi di masa depan.

Pandangan tentang anak-anak sebagai makhluk kecil yang belum sempurna

membuat masa kanak-kanak dipenuhi dengan mimpi dan idealisme orang dewasa.

Secara berantai, masa kanak-kanak akan memengaruhi keputusan-keputusan

mereka di masa yang akan datang, dan kembali membentuk idealisme masa kanak-

kanak mereka pada generasi selanjutnya. Kondisi demikian menempatkan anak-

anak sebagai sebuah kelompok masyarakat yang paradoksal. Mereka mengandung

impian dan juga kekhawatiran, dicintai sekaligus ditakuti (Sartre, 2009, p. 19).

Namun sejarah sering kali melupakan masa kanak-kanak dalam catatan-

catatannya. Cerita tentang bagaimana mereka dibesarkan, apa yang mereka lakukan,

mereka gunakan dan kenakan jarang muncul sebagai tema-tema penulisan sejarah

yang komprehensif. Hal ini membuat penulisan sejarah tentang anak-anak ibarat

padang rumput yang luas dan hijau, bebas untuk ditanami atau dibangun sekaligus

membingungkan untuk memulai dari mana.

Kehadiran Si Kuncung dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai sebuah celah

untuk mengintip dunia anak-anak di masa lalu. Melalui perjalanan penerbitannya

serta relasinya dengan pemilik kekuasaan, dapat dipahami dunia baca anak-anak

dibentuk dan dikonstruksi dalam periode yang cukup panjang, yang disadari atau

Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia.


Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018

tidak telah menjadi bagian penting yang melekat dalam diri orang-orang dewasa saat

ini. Meski fokus pembahasan diletakkan pada Si Kuncung, pembahasan tentang

bagaimana media baca anak-anak yang pernah berkembang di Indonesia perlu

dibahas dengan singkat agar informasi yang diolah dapat dipahami secara lebih

komprehensif.

Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian berjudul Majalah Anak-anak Si

Kuncung: Relasi Media, Politik dan Kekuasaan Tahun 1979-1988, dimana sumber

primer yang digunakan merupakan cetakan-cetakan majalah Si Kuncung serta

informasi langsung dari para redaktur dan penulis cerita. Tulisan terkait majalah

anak-anak juga tidak dapat dilepaskan dari kajian pers, terutama yang berkembang

di era orde baru. Meski majalah anak-anak jarang dilihat sebagai media cetak yang

berhubungan langsung dengan unsur kekuasaan, Si Kuncung dalam penelitian ini

justru lebih banyak menggunakan pustaka-pustaka bernuansa politik.

Sekilas Bacaan Anak-anak di Indonesia

“Dalam zaman Belanda kita ada bertaman, dalam zaman Djepangpoen

taman kita masih ada. Akan tetapi dalam zaman kita sendiri, di masa

kita telah bernegara kembali, telah bertanah air merdeka, taman kita

itu tak tentu lagi dimana letaknja. Kakak ta’ bertemoe-temoe lagi

dengan adik-adik, dan soeara adik-adik jang riang gembirapoen tidak

kedengaran lagi. Heran... Mengapa dalam masa sekarang ini, ketika

kakak dan adik-adik haroes bersatoe-padoe, harus selaloe berdekatan

dan bertoekaran pikiran, taman tempat kita bertjengkerama itu hilang

lenjap sadja?”

Kutipan diatas merupakan penggalan bagian pendahuluan edisi pertama

majalah Sahabat Anak-anak yang terbit perdana tanggal 14 Juni 1946. Mengapa di

tengah gegap gempita kemerdekaan serta kemelut suasana perang, bacaan anak-

anak menjadi sebuah ruang yang perlu mendapat perhatian khusus? Jika ditelusuri,

bacaan anak-anak telah mendapat perhatian khusus jauh sebelum Indonesia

memproklamirkan diri menjadi sebuah negara yang berdaulat. Cristantiowati dalam

karyanya yang berjudul Bacaan Anak-Anak Tempo Doeloe Tahun 1900-1945

mendeskripsikan perkembangan bacaan anak yang semakin meningkat pasca

penerapan politik etis dan pendirian Commissievoor de Inlandsche School en

Volkslectuur atau yang kemudian dikenal sebagai Komisi Bacaan Rakyat.

Sejak didirikan 14 September 1908, Commissievoor de Inlandsche School en

Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat ini bertujuan menyediakan bacaan sehat bagi

para murid yang mampu membaca serta memberi pertimbangan kepada Pemerintah

Hindia Belanda dalam memilih buku yang akan disebarkan kepada masyarakat.

Secara administratif Komisi Bacaan Rakyat bertugas memberikan pertimbangan

kepada Departement van Onderwijs en Eeredienst (Departemen Pengajaran) dalam

memilih naskah yang akan diterbitkan sebagai buku bacaan dalam pengajaran

sekolah. Hal ini diperlukan agar pemerintah dapat mengendalikan bacaan bagi

rakyat yang rentan terhadap pengaruh datangnya bacaan dari luar negeri

(Alisjahbana, 1992, p. 20).1

Kekhawatiran pemerintah dan keputusan untuk berkonsentrasi pada bacaan

anak-anak bukannya tanpa alasan. Munculnya semangat kebangsaan beraliran

nasionalisme dan sosialisme dianggap semakin mengkhawatirkan, terutama dengan

berdirinya Boedi Oetomo tanggal 20 Mei 1908 oleh sekelompok mahasiswa STOVIA,

1Munculnya semangat kebangsaan melalui bacaan beraliran nasionalisme dan sosialisme

dianggap mengkhawatirkan pemerintah pada saat itu, terutama dengan berdirinya Boedi Oetomo

pada 20 Mei 1908 oleh sekelompok mahasiswa STOVIA, kemudian ditengarai berasal dari pengaruh

bacaan asing.

Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 72


Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018

yang ditengarai berasal dari masuknya pengaruh bacaan asing. Pada 1911, dalam

rangka menyalurkan buku-buku terbitan Komisi Bacaan Rakyat sekaligus

penyediaan fasilitas yang mampu menunjang kegiatan pengajaran, pemerintah

Belanda membangun volksbibliotheek atau Perpustakaan Rakyat. Perpustakaan yang

kemudian dikenal dengan nama Taman Pustaka ini menuai respon positif dan

mengalami perkembangan yang signifikan.

Pembangunan Taman Pustaka memengaruhi minat baca sekaligus

meningkatkan permintaan terhadap buku-buku bacaan, terutama buku bacaan anak.

Komisi Bacaan Rakyat lalu menghadapi kesulitan akibat birokrasi yang berbelit-belit

dan menghambat penerbitan bacaan. Demi peningkatan produksi, maka

berdasarkan Gouvernements Besluit No. 63 tanggal 22 September 1917, dibentuklah

Balai Pustaka yang mampu memangkas proses penerbitan dengan menjadi lembaga

mandiri dan bertugas secara khusus memenuhi kebutuhan Taman Poestaka. Balai

Pustaka lalu secara konsisten menerbitkan karya-karya sastra yang menarik,

termasuk karya-karya dengan sasaran pembaca anak-anak dan remaja. Meski

banyak buku-buku merupakan karya terjemahan maupun saduran, Balai Pustaka

setidaknya mampu menggairahkan dunia bacaan anak-anak kala itu. Karya Merari

Siregar, Si Djamin dan Si Djohan (1918) yang merupakan saduran dari karya Oliver

Twist atau novel Tom Sawyer karya Mark Twain yang mampu meraih popularitas

dalam masa yang cukup panjang.

Ruang bacaan anak-anak juga mendapat perhatian semasa gejolak Perang

Dunia II. Pemerintahan Balatentara Dai Nippon yang berhasil menguasai Hindia-

Belanda setelah Pemerintah Belanda menyerah tanpa syarat tanggal 8 Maret 1942,

dengan segera menutup sekolah-sekolah dengan maksud membendung pengaruh

Barat di wilayah Indonesia. Seluruh buku dan bacaan terbitan Belanda dilarang dan

seluruh percetakan diambil alih (Christantiowati, 1993, p. 93).

2 Sekolah Desa diganti

dengan nama Sekolah Pertama dengan masih menggunakan bahasa daerah sebagai

bahasa pengantar, sedangkan Sekolah Tingkat Kedua, HIS dan sekolah lainnya

digabung dengan istilah baru yaitu Sekolah Rakyat dengan bahasa pengantar bahasa

Melayu-Indonesia yang sudah cukup populer pada masa itu.

Balai Pustaka, yang kemudian berganti nama menjadi Kokumin Tosyokyoku,

diberi tugas untuk segera menerbitkan buku-buku pelajaran baru bagi sekolah-

sekolah yang akan dibuka. Buku-buku yang mendapat prioritas penerbitan

merupakan buku-buku terkait kebudayaan Jepang, Bahasa Jepang dan Teknik-teknik

Dasar Pertahanan Diri (Christantiowati, 1993, pp. 94-95). Kokumin Tosyokyoku juga

menerbitkan ulang buku-buku populer sebelumnya dengan judul baru dan beberapa

revisi penggunaan bahasa serta menerima karangan dan tulisan karya pembaca.

Selama periode Pemerintahan Militer Jepang, tidak banyak buku-buku baru

yang diterbitkan. Majalah atau surat kabar bahkan diawasi dan beberapa dimatikan.

Hanya Asia Raya satu-satunya surat kabar di Jakarta dan majalah Panji Pustaka yang

diperbolehkan terbit (Jassin, 1992, pp. 59-60). Bacaan anak-anak kemudian

diruangkan dalam lampiran Taman Kanak-Kanak, yang diterbitkan melalui majalah

Panji Pustaka. Hingga masa kemerdekaan yang dipenuhi dengan gejolak, ruang baca

untuk anak-anak perlahan semakin menyusut lalu kemudian menghilang.

Si Kuncung: Lahirnya Bacaan Sekolah Rakyat

Pada 1955, setelah Pemilu pertama selesai diselenggarakan, jumlah penerbitan

mingguan, bulanan dan berkala membengkak hingga mencapai 351 judul, dari yang

sebelumnya pada 1950 hanya berjumlah 226 judul (Junaedhie, 1995, p. 24). Surat

2Seluruh sekolah baru diizinkan untuk dibuka kembali pada 29 April 1942, setelah melalui proses pelaporan pembukaan sekolah pada pemerintah setempat.

Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 73


Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018

kabar dan majalah tumbuh dimana-mana tanpa harus meminta izin terlebih dahulu.

Publik bebas mengutarakan pendapat dan kemauan masing-masing.

Sudjati SA, wartawan Pedoman, berinisiatif menggunakan peluang tersebut

dengan menerbitkan majalah anak-anak Si Kuncung untuk menyediakan ruang baca

anak-anak yang lama hilang. Pedoman sendiri merupakan sebuah surat kabar yang

berasosiasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), sebuah partai kecil anti komunis

yang vokal dan beberapa kali bersitegang dengan pemerintah (Hill, 2011, p. 101).

Berdasar pada pengalaman menulis berita serta keterlibatannya dalam penerbitan

cerpen sastra bulanan “Kisah” bersama HB Jassin, Idrus, dan M. Balfas, Sudjati mulai

menulis cerpen untuk anak-anak. Berkantor di Jalan Madura No. 2, Menteng,

Jakarta, Sudjati mulai mengumpulkan rekan-rekan sesama wartawan dan beberapa

sastrawan untuk membantunya mengasuh Si Kuncung. Pengarang-pengarang yang

kemudian terlibat sebagian besar berasal dari majalah Kisah, Mimbar Indonesia dan

Siasat. Si Kuncung lalu tampil dengan membawa idealisme jurnalis dan sastrawan

muda yang prihatin terhadap kurangnya bacaan bermutu bagi anak-anak.

Pertemuan Sudjati dengan Soekanto SA menjadi langkah awal yang positif

bagi Si Kuncung. Semula, Soekanto menolak dengan alasan tidak terbiasa menulis

cerpen anak-anak. Cerita anak-anak dianggap sebagai bagian dari pekerjaan guru.

Selain itu, keharusan untuk berkomunikasi dengan pesan moral yang disampaikan

dikhawatirkan dapat membatasi pengarang dalam mengekspresikan pikiran dan

perasaan. Namun pada akhirnya, kesadaran tentang pentingnya sastra bagi anak-

anak meluluhkan hati Soekanto. Cerita anak-anak adalah bagian dari sastra, dan

sastra adalah sastra. Soekanto SA pun menjadi salah seorang penulis inti yang

mengasuh Si Kuncung. Soekanto yang terinpirasi oleh kedatangan seorang anak

gadis bernama Gustini di kantor redaksi Si Kuncung di Jalan Madura No. 12 Jakarta,

lalu menciptakan serial cerpen berjudul Hari-hari Bersama Gustini.

3 Cerpen yang

bercerita tentang anak gadis yang cerdas ini menjadi cerpen khas Si Kuncung dan

mengisi edisi Si Kuncung hingga 1958.4 Selain Soekanto, nama lain yang muncul

dalam tahun-tahun awal Si Kuncung antara lain, Trim Sutidja, K. Usman, Mansur

Samin, Julius Sijaranamual, Darmosusanto, Surtiningsih W.T., S.Toer, B.S.Tron,

Suyono HR, HB Soepiyo, dan Rys Therik.

Sistem redaksi dalam penerbitan Si Kuncung menggunakan sistem yang

sederhana. Terdapat bagian redaksi, karyawan, ilustrator, dan penulis lepas

(Wawancara dengan Eddy Herwanto, 10 Agustus 2015). Pada terbitan tahun pertama

dan kedua, Sudjati SA sebagai pemimpin redaksi dibantu oleh Muharijo, Riardi,

Soekanto, dan Suyono HR sebagai redaksi.5 Bagian ilustrasi diisi oleh Ekana

Siswoyo, Hidayat Said, Ipe Ma’ruf, dan beberapa karyawan lain yang membantu

percetakan dan penjualan.

Penulis yang berkontribusi mengirimkan tulisan dibayar sesuai dengan

cerpen atau tulisan yang diterima. Hal demikian membuat penulis dalam Si Kuncung

sering kali berganti-ganti dan berbeda dalam tiap edisi. Meski demikian, terdapat

beberapa nama yang konsisten mengirimkan tulisan dan menjadi penulis tetap Si

Kuncung selama bertahun-tahun.

Berdasar nama-nama penulis yang muncul dibalik cerita-cerita Si Kuncung,

Sudjati tampaknya memilih penulis-penulis yang tidak terlibat dalam perseteruan

dunia sastra yang saat itu tengah terjadi. Meski tidak secara langsung menyatakan

3Jalan Madura kini berubah menjadi Jl. Moh. Yamin, Menteng, Jakarta Pusat.

4Serial “Hari-hari bersama Gustini” berakhir pada edisi No. 8 tahun 1958, dimana Gustini

diceritakan telah mendapat beasiswa untuk melanjutkan Sekolah Menengah dan selesai melewati

ujian akhir di Sekolah Rakyat.

5Nama-nama tersebut diperoleh dari catatan redaksi Si Kuncung No.1 tahun 1957 serta hasil

beberapa wawancara.

Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 74


Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018

diri sebagai majalah anti-komunis, belum ditemukan catatan terkait keterlibatan

sastrawan maupun penulis Lekra atau gerakan kiri lainnya dalam cerpen-cerpen Si

Kuncung. Sebagian besar merupakan rekan sastrawan, jurnalis dari Siasat, Pedoman

atau pengarang muda yang baru menjejaki dunia kepengarangan.6 Sudjati tampak

menempatkan dunia anak-anak sebagai dunia yang paralel dari dunia politik

dengan tetap memberikan edukasi nilai dan norma dalam cerita-ceritanya.

Keputusan untuk menyajikan karya tanpa keberpihakan yang mencolok

menempatkan Si Kuncung pada jalur aman dunia penerbitan pada saat itu.

Edisi perdana Si Kuncung yang terbit 1 April 1956 menjadi terbitan fenomenal

karena untuk kali pertama kali majalah ini dicetak ulang untuk satu nomor terbitan

perdana (Soekanto, 1986, pp. 340-345). Tampilan depan diisi dengan sebuah logo

khas Si Kuncung dan sebuah cerita berjudul “Pesta Kacang” karya Darmosusanto.

Halaman selanjutnya menampilkan lagu karya Pak Kasur yang berjudul Naik

Delman, yang juga dengan cepat meraih popularitas. 

Pada halaman depan bagian atas, Si Kuncung menggunakan gambar berupa

lima anak-anak yang berbaris dengan menggunakan topi kertas berbentuk kerucut

dan anak terakhir yang pakaiannya digigit seekor anjing kecil. Mereka membawa

mainan, alat musik, dan bendera bertuliskan Si Kuncung dengan ekspresi gembira.

Bendera tersebut memiliki semboyan Si Kuncung yang bertuliskan “Si Kuntjung

Batjaan Sekolah Rakjat”. Gambar ini kemudian menjadi ciri khas Si Kuncung, baik

dalam kolom iklan maupun dalam ragam terbitan Si Kuncung yang lainnya.

Kata “kuncung” dalam bahasa Jawa berarti gombak, atau dalam bahasa

Indonesia berarti semacam jambul (pada ayam, burung dan bunga); jambak (rambut

di dahi pada kuda); rambut di atas dahi yang ditinggalkan sehabis dipangkas

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2018). Pada logo, tampak anak yang berjalan paling

depan memiliki “kuncung” yang menonjol di sela topi kerucutnya sehingga dapat

berarti “anak yang memiliki model rambut kuncung”. Namun selain itu, kelima anak

yang berbaris tersebut juga menggunakan topi kerucut yang juga disebut “ topi

kuncung”, sehingga “si kuncung” juga dapat berarti “anak yang menggunakan topi

kuncung atau kerucut”.

Penggunaan istilah “kuncung” sendiri lebih dikenal dalam masyarakat secara

umum terutama masyarakat pedesaan di daerah Jawa.7 Hal ini memberikan kesan

kedekatan antara majalah Si Kuncung dengan masyarakat. Selain itu, penyajian

konten cerita dalam Si Kuncung yang didominasi oleh cerita-cerita dari pelosok-

pelosok daerah di Indonesia membuat Si Kuncung kental dengan aura anak-anak

pedesaan.

Berdasar Surat Izin Terbit yang diperoleh pada 1957, Si Kuncung tersebar luas

hampir di seluruh Jakarta dan beberapa kota besar di Jawa. Respon positif dan

tingginya penjualan membuat Si Kuncung tetap terbit dengan harga yang masih

terjangkau, meski situasi perekonomian sedang memasuki masa-masa krisis.

Bahkan, banyaknya karangan yang masuk membuat Si Kuncung mampu membuka

peluang baru dengan menerbitkan Si Kuncung Istimewa, semacam edisi spesial yang

terbit sebulan sekali.

Pada 1960, Sudjati menyatakan bahwa Si Kuncung Istimewa telah membantu

meningkatkan penjualan hingga mencapai 800.000 pembaca sejak pertama kali terbit.

Si Kuncung Istimewa dianggap mampu menarik minat pembaca Si Kuncung kepada

lingkup pasar yang lebih luas (Si Kuncung Istimewa, 1960). Si Kuncung semakin ramai

digemari dan banyak menerima karangan. Diluar penerimaan karangan melalui pos,

6Hingga penelitian ini disusun, belum ditemukan adnaya keterlibatan penulis ataupun

sastrawan Lekra dalam penerbitan Si Kuncung.

7Terdapat sebuah cerita yang terkenal yaitu Si Kuncung dan Si Bawuk yang beredar di

kalangan anak-anak di Jawa (Wawancara dengan Seto Mulyadi, 22 Februari 2015)

Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 75


banyak penulis muda yang tertarik untuk menuliskan cerita pendek secara reguler.

Banyaknya persediaan tulisan, terutama cerpen, memicu produktifitas Si Kuncung

untuk menerbitkan varian baru berupa buku kecil berisi kumpulan cerpen.

Gejolak Politik dan Perubahan Sistem

Pada 30 September 1965, Indonesia dikejutkan dengan peristiwa penculikan dan

pembunuhan jenderal-jenderal yang konon dilatarbelakangi oleh pemberontakan

Partai Komunis Indonesia (Ricklefs, 2008, pp. 598-600).8 Peristiwa tersebut turut

mengguncang dunia perpolitikan Indonesia yang berakhir pada penyerahan

kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto melalui surat kuasa

yang dikenal sebagai Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966.

Orde Baru lahir dengan semangat membedakan diri dengan “Orde Lama”,

sebuah istilah yang ditujukan pada pemerintahan Soekarno sebagai rezim yang telah

berlalu. Kebijakan dan haluan politik yang diambil juga bertolak belakang dengan

kebijakan pemerintah sebelumnya. Orde Baru yang inti dukungannya terdiri atas

faksi militer kemudian sering kali identik dengan rezim militer (Alkatiri, 2014, pp.

155-169). Pemerintah Orde Baru dengan segera mencanangkan Empat Tahap Strategi

Politik yang secara langsung memengaruhi kebijakan di berbagai bidang. Empat

tahapan tersebut adalah penghancuran PKI beserta ideologi Marxisme dari

kehidupan politik bangsa, konsolidasi pemerintahan dan pemurnian Pancasila dan

UUD 1945, menghapuskan atau menghilangkan dualisme kepemimpinan nasional,

serta mengembalikan stabilitas politik dan merencanakan pembangunan

(Djojonegoro, 1996, p. 149).

Pada tahun-tahun pertama pemerintahannya, Presiden Soeharto menargetkan

dua prioritas penting, yaitu pengembalian stabilitas dan keamanan negara serta

pengendalian inflasi dan penurunan harga bahan pokok. Stabilitas dan keamanan

negara dikendalikan dengan “pembersihan” unsur-unsur perusak dan pengganggu

dalam seluruh aspek dan lapisan masyarakat.9 Hal ini kemudian menjadi salah satu

ciri khas model pemerintahan Orde Baru, pemerintah menempati posisi sebagai

pihak baik yang selalu benar dengan pihak lain yang berbeda haluan sebagai musuh,

provokator, ekstrimis, anti-Pancasila dan anti-pembangunan (Djojonegoro, 1996, p.

149).

Berdasar alasan stabilitas negara dan penegakan Pancasila, pemerintah Orde

Baru dengan jeli mengawasi dan mengendalikan media informasi yang berhubungan

secara langsung dengan masyarakat. Pemerintah mengambil tindakan perubahan di

segala bidang, termasuk dalam dunia pers dan percetakan. Pada 1969, permasalahan

bacaan anak-anak menjadi tema yang menarik perhatian. Hal ini tampak dari Dewan

Perwakilan Rakyat yang menyatakan masalah bacaan anak sebagai masalah nasional

yang perlu segera ditangani. Resolusi yang diprakarsai oleh Nyonya Sukahar ini

mendapat reaksi positif dari anggota dewan dan juga presiden (Djojonegoro, 1996, p.

149). Pada tahun yang sama, segera dibangun Pusat Perpustakaan Anak-anak di

Balai Pustaka dengan dasar pertimbangan penyediaan bacaan bermutu bagi anak-

anak (Soekanto, 1986, p. 352).

Perhatian yang diberikan secara langsung oleh presiden pada pihak Si

Kuncung dengan segera turut membesarkan nama Si Kuncung. Pada awal 1970-an, Si

Kuncung kedatangan penulis-penulis muda berbakat, antara lain Soerasono, Eddy

Herwanto dan M. Sobary. Mereka merupakan pelajar perantauan di Jakarta yang

8Terdapat berbagai macam versi terkait pelaku peristiwa 30 September 1965, namun demikian

pemerintah menetapkan peristiwa tersebut didalangi oleh PKI.

9Unsur-unsur perusak dan pengganggu lebih ditujukan kepada kelompok pembuat onar atau

seringkali merujuk pada anggota maupun simpatisan PKI setelah penetapan PKI sebagai partai

terlarang.

Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 76



Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018

banyak penulis muda yang tertarik untuk menuliskan cerita pendek secara reguler.

Banyaknya persediaan tulisan, terutama cerpen, memicu produktifitas Si Kuncung

untuk menerbitkan varian baru berupa buku kecil berisi kumpulan cerpen.

Gejolak Politik dan Perubahan Sistem

Pada 30 September 1965, Indonesia dikejutkan dengan peristiwa penculikan dan

pembunuhan jenderal-jenderal yang konon dilatarbelakangi oleh pemberontakan

Partai Komunis Indonesia (Ricklefs, 2008, pp. 598-600).8 Peristiwa tersebut turut

mengguncang dunia perpolitikan Indonesia yang berakhir pada penyerahan

kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto melalui surat kuasa

yang dikenal sebagai Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966.

Orde Baru lahir dengan semangat membedakan diri dengan “Orde Lama”,

sebuah istilah yang ditujukan pada pemerintahan Soekarno sebagai rezim yang telah

berlalu. Kebijakan dan haluan politik yang diambil juga bertolak belakang dengan

kebijakan pemerintah sebelumnya. Orde Baru yang inti dukungannya terdiri atas

faksi militer kemudian sering kali identik dengan rezim militer (Alkatiri, 2014, pp.

155-169). Pemerintah Orde Baru dengan segera mencanangkan Empat Tahap Strategi

Politik yang secara langsung memengaruhi kebijakan di berbagai bidang. Empat

tahapan tersebut adalah penghancuran PKI beserta ideologi Marxisme dari

kehidupan politik bangsa, konsolidasi pemerintahan dan pemurnian Pancasila dan

UUD 1945, menghapuskan atau menghilangkan dualisme kepemimpinan nasional,

serta mengembalikan stabilitas politik dan merencanakan pembangunan

(Djojonegoro, 1996, p. 149).

Pada tahun-tahun pertama pemerintahannya, Presiden Soeharto menargetkan

dua prioritas penting, yaitu pengembalian stabilitas dan keamanan negara serta

pengendalian inflasi dan penurunan harga bahan pokok. Stabilitas dan keamanan

negara dikendalikan dengan “pembersihan” unsur-unsur perusak dan pengganggu

dalam seluruh aspek dan lapisan masyarakat.9 Hal ini kemudian menjadi salah satu

ciri khas model pemerintahan Orde Baru, pemerintah menempati posisi sebagai

pihak baik yang selalu benar dengan pihak lain yang berbeda haluan sebagai musuh,

provokator, ekstrimis, anti-Pancasila dan anti-pembangunan (Djojonegoro, 1996, p.

149).

Berdasar alasan stabilitas negara dan penegakan Pancasila, pemerintah Orde

Baru dengan jeli mengawasi dan mengendalikan media informasi yang berhubungan

secara langsung dengan masyarakat. Pemerintah mengambil tindakan perubahan di

segala bidang, termasuk dalam dunia pers dan percetakan. Pada 1969, permasalahan

bacaan anak-anak menjadi tema yang menarik perhatian. Hal ini tampak dari Dewan

Perwakilan Rakyat yang menyatakan masalah bacaan anak sebagai masalah nasional

yang perlu segera ditangani. Resolusi yang diprakarsai oleh Nyonya Sukahar ini

mendapat reaksi positif dari anggota dewan dan juga presiden (Djojonegoro, 1996, p.

149). Pada tahun yang sama, segera dibangun Pusat Perpustakaan Anak-anak di

Balai Pustaka dengan dasar pertimbangan penyediaan bacaan bermutu bagi anak-

anak (Soekanto, 1986, p. 352).

Perhatian yang diberikan secara langsung oleh presiden pada pihak Si

Kuncung dengan segera turut membesarkan nama Si Kuncung. Pada awal 1970-an, Si

Kuncung kedatangan penulis-penulis muda berbakat, antara lain Soerasono, Eddy

Herwanto dan M. Sobary. Mereka merupakan pelajar perantauan di Jakarta yang

8Terdapat berbagai macam versi terkait pelaku peristiwa 30 September 1965, namun demikian

pemerintah menetapkan peristiwa tersebut didalangi oleh PKI.

9Unsur-unsur perusak dan pengganggu lebih ditujukan kepada kelompok pembuat onar atau

seringkali merujuk pada anggota maupun simpatisan PKI setelah penetapan PKI sebagai partai

terlarang.

Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 77


Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018

Istilah pendidikan dan kebudayaan pada dasarnya sejalan dengan semangat

program pemerintah dalam dunia pendidikan. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan

dalam periode 1978-1983, menyatakan bahwa pendidikan merupakan bagian dari

kebudayaan, dan keduanya tidak dapat dipisahkan (Sardiman dan Yuliantri, 2012).

Pendidikan dan kebudayaan dapat menjadi poros penting dalam pembangunan

generasi muda, sehingga perlu digalakkan dan didukung baik di sekolah maupun di

luar lingkungan sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari.

Pembangunan pendidikan dalam masa Orde Baru mengacu pada

pembentukan manusia Pancasila, manusia pembangunan yang tinggi mutunya dan

mampu mandiri, serta memberikan dukungan perkembangan kepada masyarakat

yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh. Sistem ketahanan nasional

yang tangguh secara otomatis dapat membendung generasi muda dari ajaran

ataupun ideologi asing yang bertentangan dengan asas Pancasila (Djojonegoro, 1996,

p. 149). Berdasar pada pengembangan mutu pendidikan dan kebudayaan tersebut,

maka perubahan tagline Si Kuncung mengandung makna dan tanggung jawab besar.

Si Kuncung telah menempatkan diri sebagai media yang ikut berpartisipasi dalam

program pembangunan pendidikan nasional.

Apresiasi pemerintah terhadap majalah Si Kuncung terus meningkat hingga

pada 1980 Sudjati SA mendapat Piagam Hadiah Pendidikan. Penghargaan dari

presiden Soeharto yang ditanda tangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Daoed Joesoef tersebut diberikan kepada Sudjati atas jasanya terhadap negara

sebagai “Perintis Majalah Kanak-Kanak dan Sudah Berprestasi Selama 25 tahun”.

Hadiah tersebut diberikan atas dasar Keputusan Presiden Republik Indonesia

Nomor 23 tahun 1976 tanggal 7 Mei 1976 dan Keputusan Menteri Pendidikan dan

kebudayaan nomor 0265/M/1977 tanggal 13 Juli 1977.

Pada ulangtahunnya yang ke 27, Si Kuncung bahkan merayakannya dengan

melakukan kunjungan ke kediaman menteri pendidikan dan memberikan bundel Si

Kuncung sebagai kenang-kenangan sekaligus meminta secara langsung Menteri

Daoed Joesoef untuk memberi pesan bagi para pembaca setia Si Kuncung. Kedekatan

Si Kuncung dengan departemen dan menteri pendidikan secara langsung tidak

hanya berhenti sampai di situ. Setelah pergantian menteri pada 1983, dimana

Nugroho Notosusanto menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Si Kuncung tetap

berperan aktif dalam menjalin hubungan baik dengan pihak pemerintah.

Pada 1980, pemerintah melalui Dirjen Pendidikan menerbitkan seri cerita

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dalam setiap terbitan Si Kuncung.Rubrik ini berisi cerita-cerita yang mampu menggugah semangat pancasila, dimana

di setiap cerita tersurat pesan-pesan moral pancasila. Pada tahun yang sama,

pemerintah juga turut mensosialisasikan program-programnya melalui rubrik-rubrik

Si Kuncung. dr. Suwardjono Surjaningrat selaku Menteri Kesehatan/Kepala Badan

Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bersama Si Kuncung lalu

menerbitkan seri kependudukan yang berisi cerita maupun artikel terkait ledakan

populasi penduduk dan pentingnya program keluarga berencana.

"Usaha untuk menerbitkan tulisan seri kependudukan untuk anak

anak tingkat sekolah dasar ini merupakan suatu usaha yang sangat

penting yang memcerminkan rasa tanggungjawab kita semua

terhadap hari depan generasi mendatang. Hal ini sejalan dengan usaha

kegiatan pendidikan kependudukan di sekolah dan di luar sekolah

yang telah dimulai sejak awal tahun tujuh puluhan, diharapkan

dengan ini diberikan informasi mengenai masalah kependudukan

kepada anak anak kelas V dan VI yang akan memasuki usia remaja

dalam lima atau enam tahun mendatang" (Si Kuncung, 1980).

Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 78


Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018

Penggunaan dasar pemikiran bahwa anak-anak akan menginjak remaja lima

hingga enam tahun ke depan, membuat pendidikan terkait keluarga berencana

untuk anak-anak setingkat Sekolah Dasar terkesan dipaksakan. Terlebih lagi,

dimuatnya rubrik tersebut justru mengurangi ruang cerita dan kreasi bagi anak-

anak. Namun demikian, pemerintah tetap dengan gencar melaksanakan sosialisasi

program-programnya melalui Si Kuncung.

Pada 1 oktober 1981, Si Kuncung menambah muatan Seri Diorama Museum

ABRI Satriamandala. Serupa dengan penerbitan seri kependudukan dan penerbitan

seri P4, Seri Diorama juga dimulai dengan sambutan dari pihak pemerintah. Melalui

sambutan tertulis oleh Kepala Pusat Sejarah ABRI Departemen Pertahanan

Keamanan, Brig. Jen. Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan Direktur Jemderal

Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Darji Darmodiharjo, SH, diorama tersebut

membawa suatu misi dan menitikberatkan pada kejadian kejadian yang penting,

dalam hal ini peristiwa-peristiwa dalam perang kemerdekaan 1945-1949 (Si Kuncung,

1981). Sambutan yang dimuat dalam setiap serial baru lalu menjadi ciri khas yang

terus berlangsung hingga 1988.

Selain seri yang menampilkan semangat kebangsaan dan nasionalisme dan

sosialisasi program, Si Kuncung juga kebanjiran tulisan dan seri karangan ilmiah

yang berjalan seiring dengan kebijakan pemerintah. Pada 2 Mei 1984, Dirjen

Pendidikan Dasar dan Menengah kembali menerbitkan seri baru, yaitu seri karangan

ilmiah populer tentang uraian geologis proses terjadi dan terbentuknya pulau pulau

serta laut di bumi nusantara Indonesia dengan judul "Indonesia Tanah Airku".

Penerbitan seri ilmiah yang disusun oleh Soewarno Darsoprajitno tersebut

bertepatan dengan dimulainya perubahan penyempurnaan penggambaran peta

Indonesia, dari penggambaran kumpulan pulau pulau yang dipisahkan oleh lautan

menjadi penggambaran kumpulan pulau pulau yang justru disatukan oleh lautan.

Cara pandang tersebut dikenal dengan "Wawasan Nusantara".

Konsepsi Wawasan Nusantara yang disajikan dalam Si Kuncung memberi

manfaat yang cukup besar bagi anak-anak. Hal ini didasarkan pada konsepsi

Wawasan Nusantara yang juga dicantumkan dalam kurikulum pelajaran ilmu bumi

sehingga bacaan melalui Si Kuncung dapat secara langsung membantu anak-anak

dalam memahami pelajaran sekolah. Terdapat pula seri karangan lain karya Prof. Dr.

Ir. Otto Soemarwoto yang berjudul "Pengelolaan Air dan Sungai". Seri karangan ini

disajikan dengan tujuan melengkapi pengetahuan tentang lingkungan hidup yang

pada saat itu belum diterapkan dalam kurikulum sekolah dasar.

"Pada tingkat sekolah dasar ini anak didik tidak perlu memperoleh

mata pelajaran khusus tentang lingkungan hidup. Untuk ini beban

pelajaran yang diterima murid murid menjadi terlalu berat. Yang

penting adalah menanamkan wawasan penglihatan lingkungan kepada

anak didik melalui cara mengajar (dedaktika) berbagai ilmu, seperti

ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, pendidikan moral

pancasila, agama dan olahraga kesehatan. Mata pelajaran ini bisa

diajarkan dengan menggunakan contoh, antara lain dengan mengutip

cerita Prof. Otto Soewarmoto tentang daerah aliran sungai ini. Dengan

begitu ilmu masuk dengan wawasan penglihatan lingkungan”.

Selain seri karangan ilmiah, Si Kuncung juga menyajikan Kisah Wiraswasta,

yang menampilkan profil-profil pengusaha sukses dan ragam usahanya (Si Kuncung,

1980). Pengusaha yang ditampilkan pada umumnya merupakan pengusaha-

pengusaha di bidang pertanian dan perikanan. Rubrik ini juga seringkali

menyediakan tips dan resep singkat dalam membuat sebuah produk yang mudah,

menarik dan ramah lingkungan.

Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 79


Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018

Halaman Si Kuncung yang semula berjumlah 36 lalu menyusut menjadi 32

halaman. Si Kuncung terbit dengan total 32 halaman dianggap belum mencukupi

untuk menampung semua rubrik tersebut. Oleh karena itu, beberapa rubrik

disajikan secara berselang setiap edisi genap dan ganjil. Seperti halnya rubrik

Kebunku yang dimuat berselang dengan Seri Ekologi, serta rubrik Seri Karangan Ilmiah

yang disajikan hanya setiap dua minggu sekali. Selain itu, Si Kuncung juga kerap

menyajikan program-program pemerintah yang sedang berjalan, seperti kegiatan

koperasi, transmigrasi dan program perumahan rakyat.

Lembaran iklan komersilpun semakin menyusut dan hanya tersedia dalam

dua kolom kecil. Iklan yang ditampilkan sebagian besar merupakan produk negara

atau iklan resmi dari lembaga pemerintah tertentu. Bahkan, ketika pemerintah

tengah gencar melancarkan program pertambangan dan penjualan minyak, Si

Kuncung turut berpartisipasi dengan menyajikan Seri Pertambangan yang diterbitkan

dua pekan sekali (Si Kuncung, 1979). Seri Pertambangan yang menampilkan proses

pertambangan dan manfaatnya bagi bangsa Indonesia tersebut didukung

sepenuhnya oleh Pertamina.

Analisa: Membaca Akhir Cerita Si Kuncung

Anak-anak menanggung beban masa depan, sehingga perencanaan jangka panjang

perlu mempertimbangkan keberadaan anak-anak. Perhatian pemerintah terhadap Si

Kuncung tampak serius. “Media massa, jadi alat penting dalam memelihara dan

membantu beranakpinaknya legitimasi Orde Baru. Ini bisa dipahami, sebagai

lembaga budaya, pers Indonesia telah mengalami masa-masa keji penuh badai

dalam perjalanan sebuah negara” (Hill, 2011, p. 34).

Kekhawatiran pemerintahan Soeharto tampaknya bukan hanya sebatas pada

lembaga media atau pers. Pendidikan melalui kurikulum, tayangan, tontonan dan

bacaan anak-anak menjadi bidang khusus yang terus mengalami pengawasan.13 Si

Kuncung yang berperan sebagai media massa sekaligus penghubung yang ideal

dengan dunia anak-anak secara otomatis menjadi agen penting yang perlu

diperhatikan dan diawasi.

Pemilihan Si Kuncung sebagai media yang mendapat “perhatian” khusus

bukan suatu kebetulan yang terjadi secara acak. Si Kuncung adalah satu-satunya

majalah anak-anak yang mampu bertahan lebih dari sepuluh tahun dan telah

membentuk hegemoni kecil melalui pembaca-pembacanya dari pelosok-pelosok

daerah di Indonesia. Hegemoni yang telah terbentuk serta kesempatan untuk

memonopoli informasi membuat Si Kuncung menjadi media komunikasi ideal untuk

mensosialisasikan dan“menanamkan” nilai-nilai yang dikendaki oleh pihak

penguasa.

Padatnya rubrik yang disajikan menggeser kehadiran cerpen-cerpen kiriman

pembaca dan juga penulis tetap dalam Si Kuncung. Dalam satu terbitan, hanya dapat

ditemui dua atau tiga cerita pendek sepanjang satu halaman karangan pembaca

ataupun penulis lepas. Rubrik-rubrik yang khusus yang disajikan tidak dapat ditulis

oleh sembarang orang, melainkan oleh tokoh tertentu seperti perwakilan badan atau

lembaga terkait serta ilmuwan yang sudah dikenal masyarakat luas. Selain

meningkatkan profesionalisme dalam menyampaikan ilmu pengetahuan, penulis

yang selektif akan meminimalisir adanya pengaruh atas bacaan yang dianggap

kurang baik.

Seri Karangan Ilmiah yang semakin mendominasi membuat banyaknya penulis

ilmiah yang terlibat dalam penerbitan Si Kuncung. Kualifikasi yang tinggi serta gaya

bahasa ilmiah yang digunakan membuat Si Kuncung bukan lagi majalah anak-anak

yang bersifat menghibur dan rekreatif. Penulisan rubrik-rubrik khusus tersebut

13Terutama terkait peristiwa 1965 dan peristiwa di sekitar proses peralihan kekuasaan.

Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 80


Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018

melibatkan banyak tenaga ahli yang sudah diakui kemampuannya. “...karena para

sarjana ini mempunyai pemikiran akademis, maka tidak ada salahnya bila

dijabarkan secara sederhana anak-anak dapat mengikutinya. Toh, para sarjana ini

sudah menguasai ilmunya hingga rasanya tidak mungkin melakukan kesalahan”

(Kompas, 1980). Selain para sarjana, pengisi majalah Si Kuncung juga datang dari

kalangan profesor. Prof. Andi Hakim Nasution dari IPB dengan senang hati mengisi

rubrik matematika. Begitu juga dengan Prof. Teuku Jacob dari UGM yang

menyajikan rubrik arkeologi dalam Serial Manusia Purba Indonesia, serta Prof. Otto

Soemarwoto yang menulis rubrik lingkungan hidup (Kompas, 1980).

Peningkatan kualitas konten Si Kuncung secara keilmuan, diharapkan mampu

mempertahankan bahkan meningkatkan penjualan Si Kuncung. Pandangan terkait

“bacaan yang bagus dan berkualitas akan senantiasa diminati” membuat Si Kuncung

dan pihak pemerintah terus berupaya meningkatkan mutu pendidikan dalam cerita-

cerita Si Kuncung. Di lain pihak, ramainya penulis ilmiah yang terlibat justru

mengurangi komposisi penulis cerita dengan tema yang lebih lepas. Sebagian besar

penulis yang sebelumnya mengisi cerpen Si Kuncung kini beralih mengisi majalah

maupun surat kabar lain. Selain itu, ruang yang disediakan untuk penulis juga

semakin terbatas sehingga karangan kiriman pembaca, khususnya anak-anak, mulai

sulit ditemukan. Kehilangan banyak penulis lepas berakibat pada menurunnya

regenerasi Si Kuncung. Hal ini membuat Si Kuncung tidak lagi mampu mengikuti

perkembangan jaman, terlebih dengan kehadiran kompetitor yang semakin kuat.

Pembaca anak-anak yang disuguhkan materi ilmiah yang cenderung serupa dengan

pelajaran di sekolah perlahan kehilangan minat dan beralih ke majalah lain.

Pada 1988, Sudjati kembali memperoleh lencana penghargaan dari Presiden

Soeharto meski kepemimpinan Si Kuncung telah dialihkan pada putra sulungnya,

Indrawan Sudjati (Sang Perintis Kempis, 2015). Sudjati juga memperoleh penghargaan

dari ibu negara Tien Soeharto sebagai Tokoh Pencinta Anak. Sambutan-sambutan

dari berbagai tokoh nasionalpun membanjiri lembar edisi khusus ulang tahun Si

Kuncung yang ke-32. Hubungan yang erat dengan pemerintah ternyata berbanding

terbalik dengan posisi Si Kuncung di pasaran. Penjualan terus menurun bahkan

membuat Si Kuncung hanya mampu bertahan dengan biaya dari pemerintah

(Wawancara dengan Soekanto, 20 Agustus 2015). Setelah 1988, Si Kuncung tidak lagi

ditemukan di pasaran majalah anak-anak Indonesia. Si Kuncung tergeser oleh

majalah-majalah anak lain yang muncul belakangan, bahkan semakin tak terdengar

dan kehilangan ruang.


Simpulan

Sejatinya, Si Kuncung telah berhasil meninggalkan catatan mengesankan, baik bagi

para pembacanya maupun dalam sejarah bacaan anak di Indonesia. Sama halnya

dengan posisi Si Kuncung dalam penelitian ini. Si Kuncung sebagai sebuah majalah,

bisa jadi hanya merupakan satu dari ratusan bacaan anak-anak yang pernah ada di

Indonesia. Akan tetapi, setidaknya Si Kuncung merupakan majalah pertama dan

mungkin satu-satunya yang menjalin relasi sangat dekat dengan pemerintah di masa

Orde Baru.14 Hal ini tentu membuat Si Kuncung layak untuk memiliki ruang khusus

dalam catatan sejarah anak di Indonesia.

Referensi

Alisjahbana, S. T. (1992). Sekilas riwayat hidup perjuangan budaya dan pengalaman

pribadi selama di Balai Pustaka, dalam Bunga Rampai Kenangan Pada Balai

Pustaka. Jakarta: Balai Pustaka.

14Kata mungkin ditulis dengan harapan akan muncul fakta lain yang bisa saja berseberangan

dengan penulis, sehingga akan bermunculan penulis lain yang berminat untuk mengkaji bacaan anak.

Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 81


Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018

Alkatiri, Z. (2014). Pseudo Nationalism of the Commercial Companies on the

Commemoration of Indonesian National Holidays through Non-Commercial

Advertising in Print Media in the Years of 1980 to 2008. Advances in Historical

Studies.

Christantiowati. (1993). Bacaan anak Indonesia tempo doeloe: Kajian pendahuluan periode

1908-1945, (Skripsi). Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Sastra, Universitas

Indonesia.

Djojonegoro, W. (1996). Lima puluh tahun perkembangan pendidikan Indonesia. Jakarta:

Depdikbud.

Hill, D. T. (2011). Pers di masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1973

Jassin, H. B. (1992). Pertumbuhan diri sebagai kritikus serbaneka pengalaman di

Balai Pustaka. dalam Bunga Rampai Kenangan Pada Balai Pustaka. Jakarta: Balai

Pustaka.

Junaedhie, K. (1995). Majalah Anak-anak: Peluang yang Dilupakan. Rahasia Dapur

Majalah di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2018). Diakses dari melalui http://kbbi.web.id.

Membaca sambil berpikir. (1980, Agustus 23). Kompas.

Ricklef, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.

Sang Perintis Kempis. (2015, Agustus 13).

Sardiman dan Yuliantri, R. D. A. (2012). Dinamika pendidikan pada masa Orde Baru.

(Laporan Penelitian). Fakultas ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.

Sartre, Jean-Paul. (2009). Kata-kata (Coeteau, J. Terjemahan). Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Si Kuncung (1980, Juli).

Si Kuncung Edisi Spesial Ulang Tahun ABRI ke 36. (1981).

Si Kuncung Istimewa No. 6. (1960).

Si Kuncung No. 2. (1979).

Si Kuncung No. 33. (1980).

Soekanto. (1986, Agustus).

Sutidja, T. (1984, Juli 7). Pasang surut bacaan anak-anak: Dari Si Kuncung sampa


proyek Inpres. Sinar Harapan.

Daftar Informan

Seto Mulyadi, 22 Februari 2015.

Eddy Herwanto, 10 Agustus 2015.

Soerasono, 15 Agustus 2015.

Soekanto, 20 Agustus 2015.





Cerita Si Kucinuncung. Membaca Relasi Kuas dalam Majalah Anak-Anak Indonesia

  Magister Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia  Alamat korespondensi: atika.ash@gmail.com Abstract Si Kuncung is the f...