Magister Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia
Alamat korespondensi: atika.ash@gmail.com
Abstract
Si Kuncung is the first kid’s magazine that officially accepted as a national kids
magazine by the Indonesian government in the era of President Soeharto. Aside
from being a media for education and culture, the government also helped Si
Kuncung's publications, especially in marketing and financing. The relationship
between the publishers and the government expanded the deployment of Si
Kuncung and strengthened its position in the national children's reading
materials. However, on the other hand, Si Kuncung who dissolved in the
leadership of power also faded along with the collapse of the New Order era.
Keywords: Si Kuncung; Kid’s Magazine; Power Relation.
Abstrak
Si Kuncung merupakan majalah anak-anak pertama yang didaulat secara resmi
sebagai majalah anak nasional oleh pemerintah Indonesia pada era Presiden
Soeharto. Selain sebagai media pendidikan dan kebudayaan, pemerintah juga
turut membantu penerbitan Si Kuncung dari segi pemasaran dan pembiayaan.
Relasi yang terjalin antara pihak penerbit dengan pemerintah memperluas
penyebaran Si Kuncung dan memperkuat posisi Si Kuncung dalam jajaran bacaan
anak-anak nasional. Namun di sisi lain, Si Kuncung yang terlarut dalam
kepemimpinan kekuasaan turut meredup seiring runtuhnya Orde Baru.
Kata Kunci:. Si Kuncung; Majalah Anak-Anak; Relasi Penguasa.
Pendahuluan
Anak-anak menanggung beban tentang apa yang akan terjadi di masa depan.
Pandangan tentang anak-anak sebagai makhluk kecil yang belum sempurna
membuat masa kanak-kanak dipenuhi dengan mimpi dan idealisme orang dewasa.
Secara berantai, masa kanak-kanak akan memengaruhi keputusan-keputusan
mereka di masa yang akan datang, dan kembali membentuk idealisme masa kanak-
kanak mereka pada generasi selanjutnya. Kondisi demikian menempatkan anak-
anak sebagai sebuah kelompok masyarakat yang paradoksal. Mereka mengandung
impian dan juga kekhawatiran, dicintai sekaligus ditakuti (Sartre, 2009, p. 19).
Namun sejarah sering kali melupakan masa kanak-kanak dalam catatan-
catatannya. Cerita tentang bagaimana mereka dibesarkan, apa yang mereka lakukan,
mereka gunakan dan kenakan jarang muncul sebagai tema-tema penulisan sejarah
yang komprehensif. Hal ini membuat penulisan sejarah tentang anak-anak ibarat
padang rumput yang luas dan hijau, bebas untuk ditanami atau dibangun sekaligus
membingungkan untuk memulai dari mana.
Kehadiran Si Kuncung dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai sebuah celah
untuk mengintip dunia anak-anak di masa lalu. Melalui perjalanan penerbitannya
serta relasinya dengan pemilik kekuasaan, dapat dipahami dunia baca anak-anak
dibentuk dan dikonstruksi dalam periode yang cukup panjang, yang disadari atau
Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia.
Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018
tidak telah menjadi bagian penting yang melekat dalam diri orang-orang dewasa saat
ini. Meski fokus pembahasan diletakkan pada Si Kuncung, pembahasan tentang
bagaimana media baca anak-anak yang pernah berkembang di Indonesia perlu
dibahas dengan singkat agar informasi yang diolah dapat dipahami secara lebih
komprehensif.
Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian berjudul Majalah Anak-anak Si
Kuncung: Relasi Media, Politik dan Kekuasaan Tahun 1979-1988, dimana sumber
primer yang digunakan merupakan cetakan-cetakan majalah Si Kuncung serta
informasi langsung dari para redaktur dan penulis cerita. Tulisan terkait majalah
anak-anak juga tidak dapat dilepaskan dari kajian pers, terutama yang berkembang
di era orde baru. Meski majalah anak-anak jarang dilihat sebagai media cetak yang
berhubungan langsung dengan unsur kekuasaan, Si Kuncung dalam penelitian ini
justru lebih banyak menggunakan pustaka-pustaka bernuansa politik.
Sekilas Bacaan Anak-anak di Indonesia
“Dalam zaman Belanda kita ada bertaman, dalam zaman Djepangpoen
taman kita masih ada. Akan tetapi dalam zaman kita sendiri, di masa
kita telah bernegara kembali, telah bertanah air merdeka, taman kita
itu tak tentu lagi dimana letaknja. Kakak ta’ bertemoe-temoe lagi
dengan adik-adik, dan soeara adik-adik jang riang gembirapoen tidak
kedengaran lagi. Heran... Mengapa dalam masa sekarang ini, ketika
kakak dan adik-adik haroes bersatoe-padoe, harus selaloe berdekatan
dan bertoekaran pikiran, taman tempat kita bertjengkerama itu hilang
lenjap sadja?”
Kutipan diatas merupakan penggalan bagian pendahuluan edisi pertama
majalah Sahabat Anak-anak yang terbit perdana tanggal 14 Juni 1946. Mengapa di
tengah gegap gempita kemerdekaan serta kemelut suasana perang, bacaan anak-
anak menjadi sebuah ruang yang perlu mendapat perhatian khusus? Jika ditelusuri,
bacaan anak-anak telah mendapat perhatian khusus jauh sebelum Indonesia
memproklamirkan diri menjadi sebuah negara yang berdaulat. Cristantiowati dalam
karyanya yang berjudul Bacaan Anak-Anak Tempo Doeloe Tahun 1900-1945
mendeskripsikan perkembangan bacaan anak yang semakin meningkat pasca
penerapan politik etis dan pendirian Commissievoor de Inlandsche School en
Volkslectuur atau yang kemudian dikenal sebagai Komisi Bacaan Rakyat.
Sejak didirikan 14 September 1908, Commissievoor de Inlandsche School en
Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat ini bertujuan menyediakan bacaan sehat bagi
para murid yang mampu membaca serta memberi pertimbangan kepada Pemerintah
Hindia Belanda dalam memilih buku yang akan disebarkan kepada masyarakat.
Secara administratif Komisi Bacaan Rakyat bertugas memberikan pertimbangan
kepada Departement van Onderwijs en Eeredienst (Departemen Pengajaran) dalam
memilih naskah yang akan diterbitkan sebagai buku bacaan dalam pengajaran
sekolah. Hal ini diperlukan agar pemerintah dapat mengendalikan bacaan bagi
rakyat yang rentan terhadap pengaruh datangnya bacaan dari luar negeri
(Alisjahbana, 1992, p. 20).1
Kekhawatiran pemerintah dan keputusan untuk berkonsentrasi pada bacaan
anak-anak bukannya tanpa alasan. Munculnya semangat kebangsaan beraliran
nasionalisme dan sosialisme dianggap semakin mengkhawatirkan, terutama dengan
berdirinya Boedi Oetomo tanggal 20 Mei 1908 oleh sekelompok mahasiswa STOVIA,
1Munculnya semangat kebangsaan melalui bacaan beraliran nasionalisme dan sosialisme
dianggap mengkhawatirkan pemerintah pada saat itu, terutama dengan berdirinya Boedi Oetomo
pada 20 Mei 1908 oleh sekelompok mahasiswa STOVIA, kemudian ditengarai berasal dari pengaruh
bacaan asing.
Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 72
Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018
yang ditengarai berasal dari masuknya pengaruh bacaan asing. Pada 1911, dalam
rangka menyalurkan buku-buku terbitan Komisi Bacaan Rakyat sekaligus
penyediaan fasilitas yang mampu menunjang kegiatan pengajaran, pemerintah
Belanda membangun volksbibliotheek atau Perpustakaan Rakyat. Perpustakaan yang
kemudian dikenal dengan nama Taman Pustaka ini menuai respon positif dan
mengalami perkembangan yang signifikan.
Pembangunan Taman Pustaka memengaruhi minat baca sekaligus
meningkatkan permintaan terhadap buku-buku bacaan, terutama buku bacaan anak.
Komisi Bacaan Rakyat lalu menghadapi kesulitan akibat birokrasi yang berbelit-belit
dan menghambat penerbitan bacaan. Demi peningkatan produksi, maka
berdasarkan Gouvernements Besluit No. 63 tanggal 22 September 1917, dibentuklah
Balai Pustaka yang mampu memangkas proses penerbitan dengan menjadi lembaga
mandiri dan bertugas secara khusus memenuhi kebutuhan Taman Poestaka. Balai
Pustaka lalu secara konsisten menerbitkan karya-karya sastra yang menarik,
termasuk karya-karya dengan sasaran pembaca anak-anak dan remaja. Meski
banyak buku-buku merupakan karya terjemahan maupun saduran, Balai Pustaka
setidaknya mampu menggairahkan dunia bacaan anak-anak kala itu. Karya Merari
Siregar, Si Djamin dan Si Djohan (1918) yang merupakan saduran dari karya Oliver
Twist atau novel Tom Sawyer karya Mark Twain yang mampu meraih popularitas
dalam masa yang cukup panjang.
Ruang bacaan anak-anak juga mendapat perhatian semasa gejolak Perang
Dunia II. Pemerintahan Balatentara Dai Nippon yang berhasil menguasai Hindia-
Belanda setelah Pemerintah Belanda menyerah tanpa syarat tanggal 8 Maret 1942,
dengan segera menutup sekolah-sekolah dengan maksud membendung pengaruh
Barat di wilayah Indonesia. Seluruh buku dan bacaan terbitan Belanda dilarang dan
seluruh percetakan diambil alih (Christantiowati, 1993, p. 93).
2 Sekolah Desa diganti
dengan nama Sekolah Pertama dengan masih menggunakan bahasa daerah sebagai
bahasa pengantar, sedangkan Sekolah Tingkat Kedua, HIS dan sekolah lainnya
digabung dengan istilah baru yaitu Sekolah Rakyat dengan bahasa pengantar bahasa
Melayu-Indonesia yang sudah cukup populer pada masa itu.
Balai Pustaka, yang kemudian berganti nama menjadi Kokumin Tosyokyoku,
diberi tugas untuk segera menerbitkan buku-buku pelajaran baru bagi sekolah-
sekolah yang akan dibuka. Buku-buku yang mendapat prioritas penerbitan
merupakan buku-buku terkait kebudayaan Jepang, Bahasa Jepang dan Teknik-teknik
Dasar Pertahanan Diri (Christantiowati, 1993, pp. 94-95). Kokumin Tosyokyoku juga
menerbitkan ulang buku-buku populer sebelumnya dengan judul baru dan beberapa
revisi penggunaan bahasa serta menerima karangan dan tulisan karya pembaca.
Selama periode Pemerintahan Militer Jepang, tidak banyak buku-buku baru
yang diterbitkan. Majalah atau surat kabar bahkan diawasi dan beberapa dimatikan.
Hanya Asia Raya satu-satunya surat kabar di Jakarta dan majalah Panji Pustaka yang
diperbolehkan terbit (Jassin, 1992, pp. 59-60). Bacaan anak-anak kemudian
diruangkan dalam lampiran Taman Kanak-Kanak, yang diterbitkan melalui majalah
Panji Pustaka. Hingga masa kemerdekaan yang dipenuhi dengan gejolak, ruang baca
untuk anak-anak perlahan semakin menyusut lalu kemudian menghilang.
Si Kuncung: Lahirnya Bacaan Sekolah Rakyat
Pada 1955, setelah Pemilu pertama selesai diselenggarakan, jumlah penerbitan
mingguan, bulanan dan berkala membengkak hingga mencapai 351 judul, dari yang
sebelumnya pada 1950 hanya berjumlah 226 judul (Junaedhie, 1995, p. 24). Surat
2Seluruh sekolah baru diizinkan untuk dibuka kembali pada 29 April 1942, setelah melalui proses pelaporan pembukaan sekolah pada pemerintah setempat.
Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 73
Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018
kabar dan majalah tumbuh dimana-mana tanpa harus meminta izin terlebih dahulu.
Publik bebas mengutarakan pendapat dan kemauan masing-masing.
Sudjati SA, wartawan Pedoman, berinisiatif menggunakan peluang tersebut
dengan menerbitkan majalah anak-anak Si Kuncung untuk menyediakan ruang baca
anak-anak yang lama hilang. Pedoman sendiri merupakan sebuah surat kabar yang
berasosiasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), sebuah partai kecil anti komunis
yang vokal dan beberapa kali bersitegang dengan pemerintah (Hill, 2011, p. 101).
Berdasar pada pengalaman menulis berita serta keterlibatannya dalam penerbitan
cerpen sastra bulanan “Kisah” bersama HB Jassin, Idrus, dan M. Balfas, Sudjati mulai
menulis cerpen untuk anak-anak. Berkantor di Jalan Madura No. 2, Menteng,
Jakarta, Sudjati mulai mengumpulkan rekan-rekan sesama wartawan dan beberapa
sastrawan untuk membantunya mengasuh Si Kuncung. Pengarang-pengarang yang
kemudian terlibat sebagian besar berasal dari majalah Kisah, Mimbar Indonesia dan
Siasat. Si Kuncung lalu tampil dengan membawa idealisme jurnalis dan sastrawan
muda yang prihatin terhadap kurangnya bacaan bermutu bagi anak-anak.
Pertemuan Sudjati dengan Soekanto SA menjadi langkah awal yang positif
bagi Si Kuncung. Semula, Soekanto menolak dengan alasan tidak terbiasa menulis
cerpen anak-anak. Cerita anak-anak dianggap sebagai bagian dari pekerjaan guru.
Selain itu, keharusan untuk berkomunikasi dengan pesan moral yang disampaikan
dikhawatirkan dapat membatasi pengarang dalam mengekspresikan pikiran dan
perasaan. Namun pada akhirnya, kesadaran tentang pentingnya sastra bagi anak-
anak meluluhkan hati Soekanto. Cerita anak-anak adalah bagian dari sastra, dan
sastra adalah sastra. Soekanto SA pun menjadi salah seorang penulis inti yang
mengasuh Si Kuncung. Soekanto yang terinpirasi oleh kedatangan seorang anak
gadis bernama Gustini di kantor redaksi Si Kuncung di Jalan Madura No. 12 Jakarta,
lalu menciptakan serial cerpen berjudul Hari-hari Bersama Gustini.
3 Cerpen yang
bercerita tentang anak gadis yang cerdas ini menjadi cerpen khas Si Kuncung dan
mengisi edisi Si Kuncung hingga 1958.4 Selain Soekanto, nama lain yang muncul
dalam tahun-tahun awal Si Kuncung antara lain, Trim Sutidja, K. Usman, Mansur
Samin, Julius Sijaranamual, Darmosusanto, Surtiningsih W.T., S.Toer, B.S.Tron,
Suyono HR, HB Soepiyo, dan Rys Therik.
Sistem redaksi dalam penerbitan Si Kuncung menggunakan sistem yang
sederhana. Terdapat bagian redaksi, karyawan, ilustrator, dan penulis lepas
(Wawancara dengan Eddy Herwanto, 10 Agustus 2015). Pada terbitan tahun pertama
dan kedua, Sudjati SA sebagai pemimpin redaksi dibantu oleh Muharijo, Riardi,
Soekanto, dan Suyono HR sebagai redaksi.5 Bagian ilustrasi diisi oleh Ekana
Siswoyo, Hidayat Said, Ipe Ma’ruf, dan beberapa karyawan lain yang membantu
percetakan dan penjualan.
Penulis yang berkontribusi mengirimkan tulisan dibayar sesuai dengan
cerpen atau tulisan yang diterima. Hal demikian membuat penulis dalam Si Kuncung
sering kali berganti-ganti dan berbeda dalam tiap edisi. Meski demikian, terdapat
beberapa nama yang konsisten mengirimkan tulisan dan menjadi penulis tetap Si
Kuncung selama bertahun-tahun.
Berdasar nama-nama penulis yang muncul dibalik cerita-cerita Si Kuncung,
Sudjati tampaknya memilih penulis-penulis yang tidak terlibat dalam perseteruan
dunia sastra yang saat itu tengah terjadi. Meski tidak secara langsung menyatakan
3Jalan Madura kini berubah menjadi Jl. Moh. Yamin, Menteng, Jakarta Pusat.
4Serial “Hari-hari bersama Gustini” berakhir pada edisi No. 8 tahun 1958, dimana Gustini
diceritakan telah mendapat beasiswa untuk melanjutkan Sekolah Menengah dan selesai melewati
ujian akhir di Sekolah Rakyat.
5Nama-nama tersebut diperoleh dari catatan redaksi Si Kuncung No.1 tahun 1957 serta hasil
beberapa wawancara.
Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 74
Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018
diri sebagai majalah anti-komunis, belum ditemukan catatan terkait keterlibatan
sastrawan maupun penulis Lekra atau gerakan kiri lainnya dalam cerpen-cerpen Si
Kuncung. Sebagian besar merupakan rekan sastrawan, jurnalis dari Siasat, Pedoman
atau pengarang muda yang baru menjejaki dunia kepengarangan.6 Sudjati tampak
menempatkan dunia anak-anak sebagai dunia yang paralel dari dunia politik
dengan tetap memberikan edukasi nilai dan norma dalam cerita-ceritanya.
Keputusan untuk menyajikan karya tanpa keberpihakan yang mencolok
menempatkan Si Kuncung pada jalur aman dunia penerbitan pada saat itu.
Edisi perdana Si Kuncung yang terbit 1 April 1956 menjadi terbitan fenomenal
karena untuk kali pertama kali majalah ini dicetak ulang untuk satu nomor terbitan
perdana (Soekanto, 1986, pp. 340-345). Tampilan depan diisi dengan sebuah logo
khas Si Kuncung dan sebuah cerita berjudul “Pesta Kacang” karya Darmosusanto.
Halaman selanjutnya menampilkan lagu karya Pak Kasur yang berjudul Naik
Delman, yang juga dengan cepat meraih popularitas.
Pada halaman depan bagian atas, Si Kuncung menggunakan gambar berupa
lima anak-anak yang berbaris dengan menggunakan topi kertas berbentuk kerucut
dan anak terakhir yang pakaiannya digigit seekor anjing kecil. Mereka membawa
mainan, alat musik, dan bendera bertuliskan Si Kuncung dengan ekspresi gembira.
Bendera tersebut memiliki semboyan Si Kuncung yang bertuliskan “Si Kuntjung
Batjaan Sekolah Rakjat”. Gambar ini kemudian menjadi ciri khas Si Kuncung, baik
dalam kolom iklan maupun dalam ragam terbitan Si Kuncung yang lainnya.
Kata “kuncung” dalam bahasa Jawa berarti gombak, atau dalam bahasa
Indonesia berarti semacam jambul (pada ayam, burung dan bunga); jambak (rambut
di dahi pada kuda); rambut di atas dahi yang ditinggalkan sehabis dipangkas
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2018). Pada logo, tampak anak yang berjalan paling
depan memiliki “kuncung” yang menonjol di sela topi kerucutnya sehingga dapat
berarti “anak yang memiliki model rambut kuncung”. Namun selain itu, kelima anak
yang berbaris tersebut juga menggunakan topi kerucut yang juga disebut “ topi
kuncung”, sehingga “si kuncung” juga dapat berarti “anak yang menggunakan topi
kuncung atau kerucut”.
Penggunaan istilah “kuncung” sendiri lebih dikenal dalam masyarakat secara
umum terutama masyarakat pedesaan di daerah Jawa.7 Hal ini memberikan kesan
kedekatan antara majalah Si Kuncung dengan masyarakat. Selain itu, penyajian
konten cerita dalam Si Kuncung yang didominasi oleh cerita-cerita dari pelosok-
pelosok daerah di Indonesia membuat Si Kuncung kental dengan aura anak-anak
pedesaan.
Berdasar Surat Izin Terbit yang diperoleh pada 1957, Si Kuncung tersebar luas
hampir di seluruh Jakarta dan beberapa kota besar di Jawa. Respon positif dan
tingginya penjualan membuat Si Kuncung tetap terbit dengan harga yang masih
terjangkau, meski situasi perekonomian sedang memasuki masa-masa krisis.
Bahkan, banyaknya karangan yang masuk membuat Si Kuncung mampu membuka
peluang baru dengan menerbitkan Si Kuncung Istimewa, semacam edisi spesial yang
terbit sebulan sekali.
Pada 1960, Sudjati menyatakan bahwa Si Kuncung Istimewa telah membantu
meningkatkan penjualan hingga mencapai 800.000 pembaca sejak pertama kali terbit.
Si Kuncung Istimewa dianggap mampu menarik minat pembaca Si Kuncung kepada
lingkup pasar yang lebih luas (Si Kuncung Istimewa, 1960). Si Kuncung semakin ramai
digemari dan banyak menerima karangan. Diluar penerimaan karangan melalui pos,
6Hingga penelitian ini disusun, belum ditemukan adnaya keterlibatan penulis ataupun
sastrawan Lekra dalam penerbitan Si Kuncung.
7Terdapat sebuah cerita yang terkenal yaitu Si Kuncung dan Si Bawuk yang beredar di
kalangan anak-anak di Jawa (Wawancara dengan Seto Mulyadi, 22 Februari 2015)
Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 75
banyak penulis muda yang tertarik untuk menuliskan cerita pendek secara reguler.
Banyaknya persediaan tulisan, terutama cerpen, memicu produktifitas Si Kuncung
untuk menerbitkan varian baru berupa buku kecil berisi kumpulan cerpen.
Gejolak Politik dan Perubahan Sistem
Pada 30 September 1965, Indonesia dikejutkan dengan peristiwa penculikan dan
pembunuhan jenderal-jenderal yang konon dilatarbelakangi oleh pemberontakan
Partai Komunis Indonesia (Ricklefs, 2008, pp. 598-600).8 Peristiwa tersebut turut
mengguncang dunia perpolitikan Indonesia yang berakhir pada penyerahan
kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto melalui surat kuasa
yang dikenal sebagai Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966.
Orde Baru lahir dengan semangat membedakan diri dengan “Orde Lama”,
sebuah istilah yang ditujukan pada pemerintahan Soekarno sebagai rezim yang telah
berlalu. Kebijakan dan haluan politik yang diambil juga bertolak belakang dengan
kebijakan pemerintah sebelumnya. Orde Baru yang inti dukungannya terdiri atas
faksi militer kemudian sering kali identik dengan rezim militer (Alkatiri, 2014, pp.
155-169). Pemerintah Orde Baru dengan segera mencanangkan Empat Tahap Strategi
Politik yang secara langsung memengaruhi kebijakan di berbagai bidang. Empat
tahapan tersebut adalah penghancuran PKI beserta ideologi Marxisme dari
kehidupan politik bangsa, konsolidasi pemerintahan dan pemurnian Pancasila dan
UUD 1945, menghapuskan atau menghilangkan dualisme kepemimpinan nasional,
serta mengembalikan stabilitas politik dan merencanakan pembangunan
(Djojonegoro, 1996, p. 149).
Pada tahun-tahun pertama pemerintahannya, Presiden Soeharto menargetkan
dua prioritas penting, yaitu pengembalian stabilitas dan keamanan negara serta
pengendalian inflasi dan penurunan harga bahan pokok. Stabilitas dan keamanan
negara dikendalikan dengan “pembersihan” unsur-unsur perusak dan pengganggu
dalam seluruh aspek dan lapisan masyarakat.9 Hal ini kemudian menjadi salah satu
ciri khas model pemerintahan Orde Baru, pemerintah menempati posisi sebagai
pihak baik yang selalu benar dengan pihak lain yang berbeda haluan sebagai musuh,
provokator, ekstrimis, anti-Pancasila dan anti-pembangunan (Djojonegoro, 1996, p.
149).
Berdasar alasan stabilitas negara dan penegakan Pancasila, pemerintah Orde
Baru dengan jeli mengawasi dan mengendalikan media informasi yang berhubungan
secara langsung dengan masyarakat. Pemerintah mengambil tindakan perubahan di
segala bidang, termasuk dalam dunia pers dan percetakan. Pada 1969, permasalahan
bacaan anak-anak menjadi tema yang menarik perhatian. Hal ini tampak dari Dewan
Perwakilan Rakyat yang menyatakan masalah bacaan anak sebagai masalah nasional
yang perlu segera ditangani. Resolusi yang diprakarsai oleh Nyonya Sukahar ini
mendapat reaksi positif dari anggota dewan dan juga presiden (Djojonegoro, 1996, p.
149). Pada tahun yang sama, segera dibangun Pusat Perpustakaan Anak-anak di
Balai Pustaka dengan dasar pertimbangan penyediaan bacaan bermutu bagi anak-
anak (Soekanto, 1986, p. 352).
Perhatian yang diberikan secara langsung oleh presiden pada pihak Si
Kuncung dengan segera turut membesarkan nama Si Kuncung. Pada awal 1970-an, Si
Kuncung kedatangan penulis-penulis muda berbakat, antara lain Soerasono, Eddy
Herwanto dan M. Sobary. Mereka merupakan pelajar perantauan di Jakarta yang
8Terdapat berbagai macam versi terkait pelaku peristiwa 30 September 1965, namun demikian
pemerintah menetapkan peristiwa tersebut didalangi oleh PKI.
9Unsur-unsur perusak dan pengganggu lebih ditujukan kepada kelompok pembuat onar atau
seringkali merujuk pada anggota maupun simpatisan PKI setelah penetapan PKI sebagai partai
terlarang.
Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 76
Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018
banyak penulis muda yang tertarik untuk menuliskan cerita pendek secara reguler.
Banyaknya persediaan tulisan, terutama cerpen, memicu produktifitas Si Kuncung
untuk menerbitkan varian baru berupa buku kecil berisi kumpulan cerpen.
Gejolak Politik dan Perubahan Sistem
Pada 30 September 1965, Indonesia dikejutkan dengan peristiwa penculikan dan
pembunuhan jenderal-jenderal yang konon dilatarbelakangi oleh pemberontakan
Partai Komunis Indonesia (Ricklefs, 2008, pp. 598-600).8 Peristiwa tersebut turut
mengguncang dunia perpolitikan Indonesia yang berakhir pada penyerahan
kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto melalui surat kuasa
yang dikenal sebagai Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966.
Orde Baru lahir dengan semangat membedakan diri dengan “Orde Lama”,
sebuah istilah yang ditujukan pada pemerintahan Soekarno sebagai rezim yang telah
berlalu. Kebijakan dan haluan politik yang diambil juga bertolak belakang dengan
kebijakan pemerintah sebelumnya. Orde Baru yang inti dukungannya terdiri atas
faksi militer kemudian sering kali identik dengan rezim militer (Alkatiri, 2014, pp.
155-169). Pemerintah Orde Baru dengan segera mencanangkan Empat Tahap Strategi
Politik yang secara langsung memengaruhi kebijakan di berbagai bidang. Empat
tahapan tersebut adalah penghancuran PKI beserta ideologi Marxisme dari
kehidupan politik bangsa, konsolidasi pemerintahan dan pemurnian Pancasila dan
UUD 1945, menghapuskan atau menghilangkan dualisme kepemimpinan nasional,
serta mengembalikan stabilitas politik dan merencanakan pembangunan
(Djojonegoro, 1996, p. 149).
Pada tahun-tahun pertama pemerintahannya, Presiden Soeharto menargetkan
dua prioritas penting, yaitu pengembalian stabilitas dan keamanan negara serta
pengendalian inflasi dan penurunan harga bahan pokok. Stabilitas dan keamanan
negara dikendalikan dengan “pembersihan” unsur-unsur perusak dan pengganggu
dalam seluruh aspek dan lapisan masyarakat.9 Hal ini kemudian menjadi salah satu
ciri khas model pemerintahan Orde Baru, pemerintah menempati posisi sebagai
pihak baik yang selalu benar dengan pihak lain yang berbeda haluan sebagai musuh,
provokator, ekstrimis, anti-Pancasila dan anti-pembangunan (Djojonegoro, 1996, p.
149).
Berdasar alasan stabilitas negara dan penegakan Pancasila, pemerintah Orde
Baru dengan jeli mengawasi dan mengendalikan media informasi yang berhubungan
secara langsung dengan masyarakat. Pemerintah mengambil tindakan perubahan di
segala bidang, termasuk dalam dunia pers dan percetakan. Pada 1969, permasalahan
bacaan anak-anak menjadi tema yang menarik perhatian. Hal ini tampak dari Dewan
Perwakilan Rakyat yang menyatakan masalah bacaan anak sebagai masalah nasional
yang perlu segera ditangani. Resolusi yang diprakarsai oleh Nyonya Sukahar ini
mendapat reaksi positif dari anggota dewan dan juga presiden (Djojonegoro, 1996, p.
149). Pada tahun yang sama, segera dibangun Pusat Perpustakaan Anak-anak di
Balai Pustaka dengan dasar pertimbangan penyediaan bacaan bermutu bagi anak-
anak (Soekanto, 1986, p. 352).
Perhatian yang diberikan secara langsung oleh presiden pada pihak Si
Kuncung dengan segera turut membesarkan nama Si Kuncung. Pada awal 1970-an, Si
Kuncung kedatangan penulis-penulis muda berbakat, antara lain Soerasono, Eddy
Herwanto dan M. Sobary. Mereka merupakan pelajar perantauan di Jakarta yang
8Terdapat berbagai macam versi terkait pelaku peristiwa 30 September 1965, namun demikian
pemerintah menetapkan peristiwa tersebut didalangi oleh PKI.
9Unsur-unsur perusak dan pengganggu lebih ditujukan kepada kelompok pembuat onar atau
seringkali merujuk pada anggota maupun simpatisan PKI setelah penetapan PKI sebagai partai
terlarang.
Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 77
Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018
Istilah pendidikan dan kebudayaan pada dasarnya sejalan dengan semangat
program pemerintah dalam dunia pendidikan. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan
dalam periode 1978-1983, menyatakan bahwa pendidikan merupakan bagian dari
kebudayaan, dan keduanya tidak dapat dipisahkan (Sardiman dan Yuliantri, 2012).
Pendidikan dan kebudayaan dapat menjadi poros penting dalam pembangunan
generasi muda, sehingga perlu digalakkan dan didukung baik di sekolah maupun di
luar lingkungan sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembangunan pendidikan dalam masa Orde Baru mengacu pada
pembentukan manusia Pancasila, manusia pembangunan yang tinggi mutunya dan
mampu mandiri, serta memberikan dukungan perkembangan kepada masyarakat
yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh. Sistem ketahanan nasional
yang tangguh secara otomatis dapat membendung generasi muda dari ajaran
ataupun ideologi asing yang bertentangan dengan asas Pancasila (Djojonegoro, 1996,
p. 149). Berdasar pada pengembangan mutu pendidikan dan kebudayaan tersebut,
maka perubahan tagline Si Kuncung mengandung makna dan tanggung jawab besar.
Si Kuncung telah menempatkan diri sebagai media yang ikut berpartisipasi dalam
program pembangunan pendidikan nasional.
Apresiasi pemerintah terhadap majalah Si Kuncung terus meningkat hingga
pada 1980 Sudjati SA mendapat Piagam Hadiah Pendidikan. Penghargaan dari
presiden Soeharto yang ditanda tangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Daoed Joesoef tersebut diberikan kepada Sudjati atas jasanya terhadap negara
sebagai “Perintis Majalah Kanak-Kanak dan Sudah Berprestasi Selama 25 tahun”.
Hadiah tersebut diberikan atas dasar Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 23 tahun 1976 tanggal 7 Mei 1976 dan Keputusan Menteri Pendidikan dan
kebudayaan nomor 0265/M/1977 tanggal 13 Juli 1977.
Pada ulangtahunnya yang ke 27, Si Kuncung bahkan merayakannya dengan
melakukan kunjungan ke kediaman menteri pendidikan dan memberikan bundel Si
Kuncung sebagai kenang-kenangan sekaligus meminta secara langsung Menteri
Daoed Joesoef untuk memberi pesan bagi para pembaca setia Si Kuncung. Kedekatan
Si Kuncung dengan departemen dan menteri pendidikan secara langsung tidak
hanya berhenti sampai di situ. Setelah pergantian menteri pada 1983, dimana
Nugroho Notosusanto menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Si Kuncung tetap
berperan aktif dalam menjalin hubungan baik dengan pihak pemerintah.
Pada 1980, pemerintah melalui Dirjen Pendidikan menerbitkan seri cerita
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dalam setiap terbitan Si Kuncung.Rubrik ini berisi cerita-cerita yang mampu menggugah semangat pancasila, dimana
di setiap cerita tersurat pesan-pesan moral pancasila. Pada tahun yang sama,
pemerintah juga turut mensosialisasikan program-programnya melalui rubrik-rubrik
Si Kuncung. dr. Suwardjono Surjaningrat selaku Menteri Kesehatan/Kepala Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bersama Si Kuncung lalu
menerbitkan seri kependudukan yang berisi cerita maupun artikel terkait ledakan
populasi penduduk dan pentingnya program keluarga berencana.
"Usaha untuk menerbitkan tulisan seri kependudukan untuk anak
anak tingkat sekolah dasar ini merupakan suatu usaha yang sangat
penting yang memcerminkan rasa tanggungjawab kita semua
terhadap hari depan generasi mendatang. Hal ini sejalan dengan usaha
kegiatan pendidikan kependudukan di sekolah dan di luar sekolah
yang telah dimulai sejak awal tahun tujuh puluhan, diharapkan
dengan ini diberikan informasi mengenai masalah kependudukan
kepada anak anak kelas V dan VI yang akan memasuki usia remaja
dalam lima atau enam tahun mendatang" (Si Kuncung, 1980).
Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 78
Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018
Penggunaan dasar pemikiran bahwa anak-anak akan menginjak remaja lima
hingga enam tahun ke depan, membuat pendidikan terkait keluarga berencana
untuk anak-anak setingkat Sekolah Dasar terkesan dipaksakan. Terlebih lagi,
dimuatnya rubrik tersebut justru mengurangi ruang cerita dan kreasi bagi anak-
anak. Namun demikian, pemerintah tetap dengan gencar melaksanakan sosialisasi
program-programnya melalui Si Kuncung.
Pada 1 oktober 1981, Si Kuncung menambah muatan Seri Diorama Museum
ABRI Satriamandala. Serupa dengan penerbitan seri kependudukan dan penerbitan
seri P4, Seri Diorama juga dimulai dengan sambutan dari pihak pemerintah. Melalui
sambutan tertulis oleh Kepala Pusat Sejarah ABRI Departemen Pertahanan
Keamanan, Brig. Jen. Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan Direktur Jemderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Darji Darmodiharjo, SH, diorama tersebut
membawa suatu misi dan menitikberatkan pada kejadian kejadian yang penting,
dalam hal ini peristiwa-peristiwa dalam perang kemerdekaan 1945-1949 (Si Kuncung,
1981). Sambutan yang dimuat dalam setiap serial baru lalu menjadi ciri khas yang
terus berlangsung hingga 1988.
Selain seri yang menampilkan semangat kebangsaan dan nasionalisme dan
sosialisasi program, Si Kuncung juga kebanjiran tulisan dan seri karangan ilmiah
yang berjalan seiring dengan kebijakan pemerintah. Pada 2 Mei 1984, Dirjen
Pendidikan Dasar dan Menengah kembali menerbitkan seri baru, yaitu seri karangan
ilmiah populer tentang uraian geologis proses terjadi dan terbentuknya pulau pulau
serta laut di bumi nusantara Indonesia dengan judul "Indonesia Tanah Airku".
Penerbitan seri ilmiah yang disusun oleh Soewarno Darsoprajitno tersebut
bertepatan dengan dimulainya perubahan penyempurnaan penggambaran peta
Indonesia, dari penggambaran kumpulan pulau pulau yang dipisahkan oleh lautan
menjadi penggambaran kumpulan pulau pulau yang justru disatukan oleh lautan.
Cara pandang tersebut dikenal dengan "Wawasan Nusantara".
Konsepsi Wawasan Nusantara yang disajikan dalam Si Kuncung memberi
manfaat yang cukup besar bagi anak-anak. Hal ini didasarkan pada konsepsi
Wawasan Nusantara yang juga dicantumkan dalam kurikulum pelajaran ilmu bumi
sehingga bacaan melalui Si Kuncung dapat secara langsung membantu anak-anak
dalam memahami pelajaran sekolah. Terdapat pula seri karangan lain karya Prof. Dr.
Ir. Otto Soemarwoto yang berjudul "Pengelolaan Air dan Sungai". Seri karangan ini
disajikan dengan tujuan melengkapi pengetahuan tentang lingkungan hidup yang
pada saat itu belum diterapkan dalam kurikulum sekolah dasar.
"Pada tingkat sekolah dasar ini anak didik tidak perlu memperoleh
mata pelajaran khusus tentang lingkungan hidup. Untuk ini beban
pelajaran yang diterima murid murid menjadi terlalu berat. Yang
penting adalah menanamkan wawasan penglihatan lingkungan kepada
anak didik melalui cara mengajar (dedaktika) berbagai ilmu, seperti
ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, pendidikan moral
pancasila, agama dan olahraga kesehatan. Mata pelajaran ini bisa
diajarkan dengan menggunakan contoh, antara lain dengan mengutip
cerita Prof. Otto Soewarmoto tentang daerah aliran sungai ini. Dengan
begitu ilmu masuk dengan wawasan penglihatan lingkungan”.
Selain seri karangan ilmiah, Si Kuncung juga menyajikan Kisah Wiraswasta,
yang menampilkan profil-profil pengusaha sukses dan ragam usahanya (Si Kuncung,
1980). Pengusaha yang ditampilkan pada umumnya merupakan pengusaha-
pengusaha di bidang pertanian dan perikanan. Rubrik ini juga seringkali
menyediakan tips dan resep singkat dalam membuat sebuah produk yang mudah,
menarik dan ramah lingkungan.
Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 79
Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018
Halaman Si Kuncung yang semula berjumlah 36 lalu menyusut menjadi 32
halaman. Si Kuncung terbit dengan total 32 halaman dianggap belum mencukupi
untuk menampung semua rubrik tersebut. Oleh karena itu, beberapa rubrik
disajikan secara berselang setiap edisi genap dan ganjil. Seperti halnya rubrik
Kebunku yang dimuat berselang dengan Seri Ekologi, serta rubrik Seri Karangan Ilmiah
yang disajikan hanya setiap dua minggu sekali. Selain itu, Si Kuncung juga kerap
menyajikan program-program pemerintah yang sedang berjalan, seperti kegiatan
koperasi, transmigrasi dan program perumahan rakyat.
Lembaran iklan komersilpun semakin menyusut dan hanya tersedia dalam
dua kolom kecil. Iklan yang ditampilkan sebagian besar merupakan produk negara
atau iklan resmi dari lembaga pemerintah tertentu. Bahkan, ketika pemerintah
tengah gencar melancarkan program pertambangan dan penjualan minyak, Si
Kuncung turut berpartisipasi dengan menyajikan Seri Pertambangan yang diterbitkan
dua pekan sekali (Si Kuncung, 1979). Seri Pertambangan yang menampilkan proses
pertambangan dan manfaatnya bagi bangsa Indonesia tersebut didukung
sepenuhnya oleh Pertamina.
Analisa: Membaca Akhir Cerita Si Kuncung
Anak-anak menanggung beban masa depan, sehingga perencanaan jangka panjang
perlu mempertimbangkan keberadaan anak-anak. Perhatian pemerintah terhadap Si
Kuncung tampak serius. “Media massa, jadi alat penting dalam memelihara dan
membantu beranakpinaknya legitimasi Orde Baru. Ini bisa dipahami, sebagai
lembaga budaya, pers Indonesia telah mengalami masa-masa keji penuh badai
dalam perjalanan sebuah negara” (Hill, 2011, p. 34).
Kekhawatiran pemerintahan Soeharto tampaknya bukan hanya sebatas pada
lembaga media atau pers. Pendidikan melalui kurikulum, tayangan, tontonan dan
bacaan anak-anak menjadi bidang khusus yang terus mengalami pengawasan.13 Si
Kuncung yang berperan sebagai media massa sekaligus penghubung yang ideal
dengan dunia anak-anak secara otomatis menjadi agen penting yang perlu
diperhatikan dan diawasi.
Pemilihan Si Kuncung sebagai media yang mendapat “perhatian” khusus
bukan suatu kebetulan yang terjadi secara acak. Si Kuncung adalah satu-satunya
majalah anak-anak yang mampu bertahan lebih dari sepuluh tahun dan telah
membentuk hegemoni kecil melalui pembaca-pembacanya dari pelosok-pelosok
daerah di Indonesia. Hegemoni yang telah terbentuk serta kesempatan untuk
memonopoli informasi membuat Si Kuncung menjadi media komunikasi ideal untuk
mensosialisasikan dan“menanamkan” nilai-nilai yang dikendaki oleh pihak
penguasa.
Padatnya rubrik yang disajikan menggeser kehadiran cerpen-cerpen kiriman
pembaca dan juga penulis tetap dalam Si Kuncung. Dalam satu terbitan, hanya dapat
ditemui dua atau tiga cerita pendek sepanjang satu halaman karangan pembaca
ataupun penulis lepas. Rubrik-rubrik yang khusus yang disajikan tidak dapat ditulis
oleh sembarang orang, melainkan oleh tokoh tertentu seperti perwakilan badan atau
lembaga terkait serta ilmuwan yang sudah dikenal masyarakat luas. Selain
meningkatkan profesionalisme dalam menyampaikan ilmu pengetahuan, penulis
yang selektif akan meminimalisir adanya pengaruh atas bacaan yang dianggap
kurang baik.
Seri Karangan Ilmiah yang semakin mendominasi membuat banyaknya penulis
ilmiah yang terlibat dalam penerbitan Si Kuncung. Kualifikasi yang tinggi serta gaya
bahasa ilmiah yang digunakan membuat Si Kuncung bukan lagi majalah anak-anak
yang bersifat menghibur dan rekreatif. Penulisan rubrik-rubrik khusus tersebut
13Terutama terkait peristiwa 1965 dan peristiwa di sekitar proses peralihan kekuasaan.
Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 80
Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018
melibatkan banyak tenaga ahli yang sudah diakui kemampuannya. “...karena para
sarjana ini mempunyai pemikiran akademis, maka tidak ada salahnya bila
dijabarkan secara sederhana anak-anak dapat mengikutinya. Toh, para sarjana ini
sudah menguasai ilmunya hingga rasanya tidak mungkin melakukan kesalahan”
(Kompas, 1980). Selain para sarjana, pengisi majalah Si Kuncung juga datang dari
kalangan profesor. Prof. Andi Hakim Nasution dari IPB dengan senang hati mengisi
rubrik matematika. Begitu juga dengan Prof. Teuku Jacob dari UGM yang
menyajikan rubrik arkeologi dalam Serial Manusia Purba Indonesia, serta Prof. Otto
Soemarwoto yang menulis rubrik lingkungan hidup (Kompas, 1980).
Peningkatan kualitas konten Si Kuncung secara keilmuan, diharapkan mampu
mempertahankan bahkan meningkatkan penjualan Si Kuncung. Pandangan terkait
“bacaan yang bagus dan berkualitas akan senantiasa diminati” membuat Si Kuncung
dan pihak pemerintah terus berupaya meningkatkan mutu pendidikan dalam cerita-
cerita Si Kuncung. Di lain pihak, ramainya penulis ilmiah yang terlibat justru
mengurangi komposisi penulis cerita dengan tema yang lebih lepas. Sebagian besar
penulis yang sebelumnya mengisi cerpen Si Kuncung kini beralih mengisi majalah
maupun surat kabar lain. Selain itu, ruang yang disediakan untuk penulis juga
semakin terbatas sehingga karangan kiriman pembaca, khususnya anak-anak, mulai
sulit ditemukan. Kehilangan banyak penulis lepas berakibat pada menurunnya
regenerasi Si Kuncung. Hal ini membuat Si Kuncung tidak lagi mampu mengikuti
perkembangan jaman, terlebih dengan kehadiran kompetitor yang semakin kuat.
Pembaca anak-anak yang disuguhkan materi ilmiah yang cenderung serupa dengan
pelajaran di sekolah perlahan kehilangan minat dan beralih ke majalah lain.
Pada 1988, Sudjati kembali memperoleh lencana penghargaan dari Presiden
Soeharto meski kepemimpinan Si Kuncung telah dialihkan pada putra sulungnya,
Indrawan Sudjati (Sang Perintis Kempis, 2015). Sudjati juga memperoleh penghargaan
dari ibu negara Tien Soeharto sebagai Tokoh Pencinta Anak. Sambutan-sambutan
dari berbagai tokoh nasionalpun membanjiri lembar edisi khusus ulang tahun Si
Kuncung yang ke-32. Hubungan yang erat dengan pemerintah ternyata berbanding
terbalik dengan posisi Si Kuncung di pasaran. Penjualan terus menurun bahkan
membuat Si Kuncung hanya mampu bertahan dengan biaya dari pemerintah
(Wawancara dengan Soekanto, 20 Agustus 2015). Setelah 1988, Si Kuncung tidak lagi
ditemukan di pasaran majalah anak-anak Indonesia. Si Kuncung tergeser oleh
majalah-majalah anak lain yang muncul belakangan, bahkan semakin tak terdengar
dan kehilangan ruang.
Simpulan
Sejatinya, Si Kuncung telah berhasil meninggalkan catatan mengesankan, baik bagi
para pembacanya maupun dalam sejarah bacaan anak di Indonesia. Sama halnya
dengan posisi Si Kuncung dalam penelitian ini. Si Kuncung sebagai sebuah majalah,
bisa jadi hanya merupakan satu dari ratusan bacaan anak-anak yang pernah ada di
Indonesia. Akan tetapi, setidaknya Si Kuncung merupakan majalah pertama dan
mungkin satu-satunya yang menjalin relasi sangat dekat dengan pemerintah di masa
Orde Baru.14 Hal ini tentu membuat Si Kuncung layak untuk memiliki ruang khusus
dalam catatan sejarah anak di Indonesia.
Referensi
Alisjahbana, S. T. (1992). Sekilas riwayat hidup perjuangan budaya dan pengalaman
pribadi selama di Balai Pustaka, dalam Bunga Rampai Kenangan Pada Balai
Pustaka. Jakarta: Balai Pustaka.
14Kata mungkin ditulis dengan harapan akan muncul fakta lain yang bisa saja berseberangan
dengan penulis, sehingga akan bermunculan penulis lain yang berminat untuk mengkaji bacaan anak.
Cerita Si Kuncung: Membaca Relasi Kuasa dalam Majalah Anak-Anak Indonesia | 81
Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, 71-82 © 2018
Alkatiri, Z. (2014). Pseudo Nationalism of the Commercial Companies on the
Commemoration of Indonesian National Holidays through Non-Commercial
Advertising in Print Media in the Years of 1980 to 2008. Advances in Historical
Studies.
Christantiowati. (1993). Bacaan anak Indonesia tempo doeloe: Kajian pendahuluan periode
1908-1945, (Skripsi). Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Sastra, Universitas
Indonesia.
Djojonegoro, W. (1996). Lima puluh tahun perkembangan pendidikan Indonesia. Jakarta:
Depdikbud.
Hill, D. T. (2011). Pers di masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1973
Jassin, H. B. (1992). Pertumbuhan diri sebagai kritikus serbaneka pengalaman di
Balai Pustaka. dalam Bunga Rampai Kenangan Pada Balai Pustaka. Jakarta: Balai
Pustaka.
Junaedhie, K. (1995). Majalah Anak-anak: Peluang yang Dilupakan. Rahasia Dapur
Majalah di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2018). Diakses dari melalui http://kbbi.web.id.
Membaca sambil berpikir. (1980, Agustus 23). Kompas.
Ricklef, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.
Sang Perintis Kempis. (2015, Agustus 13).
Sardiman dan Yuliantri, R. D. A. (2012). Dinamika pendidikan pada masa Orde Baru.
(Laporan Penelitian). Fakultas ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.
Sartre, Jean-Paul. (2009). Kata-kata (Coeteau, J. Terjemahan). Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Si Kuncung (1980, Juli).
Si Kuncung Edisi Spesial Ulang Tahun ABRI ke 36. (1981).
Si Kuncung Istimewa No. 6. (1960).
Si Kuncung No. 2. (1979).
Si Kuncung No. 33. (1980).
Soekanto. (1986, Agustus).
Sutidja, T. (1984, Juli 7). Pasang surut bacaan anak-anak: Dari Si Kuncung sampa
proyek Inpres. Sinar Harapan.
Daftar Informan
Seto Mulyadi, 22 Februari 2015.
Eddy Herwanto, 10 Agustus 2015.
Soerasono, 15 Agustus 2015.
Soekanto, 20 Agustus 2015.